Gambar bentuk
perlawanan Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
Sumber:
www.tugassekolah.com
Secara
umum, perlawanan terhadap bangsa Barat di Kepulauan Indonesia dapat dibedakan
berdasarkan waktu dan aktornya. Dalam konteks waktu, perlawanan itu dapat
dikelompokkan dalam dua periode besar. Pertama, perlawanan terhadap pedagang
serakah yang berpolitik yang terjadi sepanjang abad ke-16 sampai akhir abad
ke-18. Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda sejak abad ke-19.
Dalam konteks aktor, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan oleh
pemerintah atau elite lokal dan perlawanan oleh masyarakat atau rakyat,
termasuk didalamnya perlawanan yang dilakukan oleh para migran seperti komunis
Cina.
Terdapat perbedaan motif, bentuk gerakan dan ideologi pada masing-masing perlawanan, baik yang dilakukan oleh kerajaan, elite lokal maupun oleh rakyat. Satu hal yang pasti, perlawanan itu berlangsung seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara.Beberapa perlawanan bersifat sangat lokal dan bahkan individual atau kelompok kecil dan hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Sedangkan perlawanan lain bersifat massal, mencakup wilayah yang luas, persenjataan serta strategi perang yang canggih dan waktu yang lama. Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Melaka, perlawanan terhadap kehadiran bangsa Barat segera muncul baik karena alasan persaingan ekonomi dan politik maupun reaksi terhadap tekanan yang dilakukan Portugis.
Berikut berbagai perlawanan dalam melawan
kolonialisme dan imperalisme
a. Perang
melawan hegemoni dan keserakahan kongsi dagang
Tujuan pendirian VOC ialah
menghilangkan persaingan antara sesama pedagang Belanda, menyatukan pedagang
Belanda, dan mencari keuntungan besar. VOC juga diberikan hak istimewa seperti
hak monopoli, membuat mata uang, perjanjian, dan mempunyai militer sendiri,
dengan semua keistimewaan VOC melakukan tindakaan sewenang-wenang hal tersebut
membuat rakyat Indonesia tidak senang dan melakukan perlawanan terhadap VOC diberbagai
wilayah di Indonesia.
1) Perlawanan
rakyat Aceh
Gambar
perlawanan rakyat aceh
Sumber:
lautanteduh2.blogspot.com
Sejak Portugis
berhasil menduduki Malaka pada tahun 1511, kerajaan Aceh merupakan saingannya
yang terberat dalam perdagangannya. Sebab banyak pedagang Asia yang memindahkan
kegiatan dagangnya ke Aceh. Pelabuhan Aceh bertambah ramai. Aceh merupakan
ancaman bagi kedudukan Portugis di Malaka yang sewaktu-waktu Aceh dapat
menyerbu Malaka.
Persaingan dagang antara Portugis
dengan kerajaan Islam Aceh semakin lama semakin meruncing. Kemudian, meningkat
menjadi permusuhan. Bila armada Portugis berjumpa dengan patroli-patroli
angkatan laut Aceh, terjadilah pertempuran di laut.
Pertempuran semacam itu tidak hanya
terjadi di selat Malaka, tetapi juga di lautan internasional, antara lain di
Laut Merah. Cara menghadapi Portugis, Sultan Aceh mengambil langkah-langkah,
sebagai berikut.
a) Kapal-kapal
dagangnya yang berlayar disertai prajurit dengan perlengkapan meriam.
b) Meminta
bantuan meriam serta tenaga ahlinya dari Turki. Bantuan dari Turki itu
diperoleh pada tahun 1567.
c) Meminta
bantuan dari Jepara (Demak) dan Calicut (India).
Sementara itu, Portugis mempunyai
rencana terhadap Aceh, sebagai berikut.
a)
Menghancurkan Aceh dengan
jalan mengepungnya selama 3 tahun.
b)
Setiap kapal yang berlayar
di selat Malaka akan disergap dan dihancurkan.
Namun, ternyata rencana Portugis
tersebut tidak dapat terlaksana sebab Portugis tidak memiliki armada yang cukup
untuk mengawasi selat Malaka. Ternyata bukan Portugis yang berhasil
menghancurkan kapal-kapal Aceh, tetapi sebaliknya kapal-kapal Aceh itulah yang
sering mengganggu kapal-kapal Portugis di selat Malaka.
Permusuhan antara Aceh dengan Portugis
berlangsung terus-menerus. Kedua pihak saling berusaha untuk menghancurkan,
tetapi sama-sama tidak berhasil. Sampai akhirnya Malaka jatuh ke tangan VOC
(Belanda) pada tahun 1641.Usaha VOC untuk berdagang dan menguasai
pelabuhan-pelabuhan penting di Aceh tidak berhasil karena Sultan Iskandar Muda
cukup tegas. Ia selalu memersulit orang-orang Barat untuk berdagang di
wilayahnya.
Ketika itu, Inggris dan Belanda minta
izin untuk berdagang di wilayah Aceh. Sultan Iskandar Muda menegaskan bahwa ia
hanya akan memberi izin kepada salah satu di antara keduanya dengan syarat izin
diberikan kepada yang memberi keuntungan kepada Kerajaan Aceh.Karena merasa
kesulitan mendapatkan ijin berdagang, para pedagang Inggris dan Belanda mencoba
melaksanakan perdagangan gelap atau penyelundupan. Usaha itu pun tidak berhasil
karena armada Aceh selalu siaga menjaga setiap pelabuhan di wilayahnya.
2) Perlawanan
rakyat Maluku
Portugis sering kali
memenangkan peperangan dengan rakyat Maluku. Hal tersebut membuat Portugis
menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku.
Upaya monopoli terus dilakukan, wajar jika sering terjadi letupan-letupan
perlawanan rakyat. Sementara itu, untuk menyelesaikan persaingan antara
Portugis dengan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni perjanjian
Saragosa, pada tahun 1534. Dengan adanya perjanjian Saragosa kedudukan Portugis
di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya
melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga
semakin mengganggu kedaulatan kerajaankerajaan yang ada di Maluku. Pada tahun
1565, muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.
Sultan Khaerun
menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata
melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan
perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan
Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570
bertempat di Benteng Sao Paolo yang ternyata semua ini hanya tipu muslihat
Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap
dan dibunuh. Apa yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak
mengenal peri kemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi, Portugis telah merusak
sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Serangan rakyat terus
terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan
sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya, pada periode tahun 1635–1646 terjadi
serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi.
Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650, perlawanan rakyat juga
terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara itu, perlawanan
secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun, berbagai serangan itu selalu
dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih
lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli
rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
3) Perlawanan
rakyat Mataram
Gambar
perlawanan rakyat mataram
Sumber:
pendidikan60detik.blogspot.com
Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613–1645). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa
Barat yang belum masuk wilayah Mataram. Pada mulanya hubungan antara Mataram
dengan VOC berjalan baik. Dibuktikan dengan diperbolehkan VOC mendirikan kantor
dagangnya di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya VOC
menunjukkan sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara. Tuntutan
VOC tersebut ditolak oleh bupati Kendal bernama Baurekso, yang bertanggung
jawab atas wilayah Jepara.
Namun penolakan itu
tidak menyurutkan keinginan VOC. VOC tetap melaksanakan monopoli
perdagangannya. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat Mataram, kantor VOC
diserang. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen membalasnya dengan
memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah Jepara. Menyikapi peristiwa
tersebut, Sultan Agung bertekad menyerang kota Batavia. Penyerangan Sultan
Agung terhadap VOC di kota Batavia dilakukan sebanyak dua kali.
a) Serangan
pertama
Serangan pertama dilakukan tahun 1628.
Pertengahan bulan Agustus 1628, secara tiba-tiba armada Mataram muncul di
perairan kota Batavia. Mereka segera menyerang benteng VOC. Panglima-panglima
Sultan Agung antara lain Tumenggung Baurekso, Tumenggung Sura Agul-agul, Kyai
Dipati Manduro-Rejo, dan Kyai Dipati Uposonto.
Pada perlawanan tersebut, Tumenggung
Baurekso gugur beserta putranya. Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang
yang tinggi, antara lain dengan membendung Sungai Ciliwung, (seperti waktu
penyerangan di Surabaya). Namun penyerangan kali ini mengalami kegagalan.
Akhirnya pasukan Sultan Agung terpaksa mengundurkan diri. Meskipun gagal,
tetapi tidak membuat patah semangat Sultan Agung dan pasukannya, para bangsawan
serta rakyatnya. Kemudian disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan
kedua.
b) Serangan
kedua
Serangan kedua ini berhasil
menghancurkan benteng Hollandia dan menewaskan J.P. Coen sewaktu mempertahankan
benteng Meester Cornellis. Karena banyak pasukan yang tewas, daerah itu
dinamakan Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung padi di
Tegal dan Cirebon. Kemudian lumbung-lumbung dibakar. Akhirnya serangan kedua
ini juga mengalami kegagalan.
Kedua serangan yang gagal ini tidak
membuat Sultan Agung putus asa. Beliau telah memikirkan untuk serangan
selanjutnya. Tetapi sebelum rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645).
Penyebab kegagalan yang menyebabkan kekalahan itu, antara lain sebagai berikut.
a) Terlalu
lelah karena jarak Mataram (sekarang, Yogyakarta) Batavia (sekarang, Jakarta)
sangat jauh.
b) Kekurangan
persediaan makanan (kelaparan).
c) Kalah
dalam persenjataan.
d) Banyak
yang meninggal akibat penyakit malaria.
4) Perlawanan
rakyat Banten
Dilakukan
sejak tahun 1619 oleh kerajaan Banten saat VOC berusaha hendak merebut bandar
pelabuhan Merak yang membuat orang Banten sangat marah dan menaruh dendam
terhadap VOC. Apalagi VOC telah dengan sewenangwenang merebut Jayakarta yang
menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Banten dan berusaha memblokade pelabuhan
dengan kerajaan Banten. Guna menghadapi bahaya dan ancaman kerajaan Mataram,
VOC berusaha mendekati kerajaan Banten. Namun, Banten sudah terlanjur menaruh
dendam terhadap Belanda. Pada bulan Desember 1627 orang-orang Banten
merencanakan pembunuhan terhadap J.P. Coen. Namun, rencana itu bocor dan telah
diketahui musuh. Tahun 1633, ketika VOC bertindak sewenang-wenang terhadap
orang-orang Banten yang berlayar dan berdagang di kepulauan Maluku, pecah lagi peperangan
antara Banten dengan VOC. Hubungan antara kerajaan Banten dengan VOC lebih
gawat lagi ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah atau yang
bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1650–1682). Hal ini dibuktikan dengan
peperanganpeperangan yang dilakukannya melawan VOC atau kompeni Belanda, baik
di darat maupun di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dengan
kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing, dan Tangerang sering terjadi
pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar