Jumat, 26 Maret 2021

Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan ( Materi IPS Kelas VIII )

 


Kolonialisme atau Penjajahan adalah suatu sistem di mana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negara asal, istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan. Penjajahan yang dilakukan tentunya memiliki latar belakang tertentu. Penjajahan belanda terhadap indonesia adalah peristiwa yang selamanya akan tetap menjadi sejarah dan tentunya tidak akan pernah dilupakan oleh rakyat indonesia.


 

Gambar kolonialisme

Sumber: https://yeahrip.com

1.   Pengaruh Monopoli dalam Perdagangan

Kebijakan pemerintah kolonial yang paling lama di Indonesia adalah monopoli perdagangan oleh VOC. Dua abad sejak berdiri, pengaruh VOC baik di bidang ekonomi maupun politik sudah tersebar di berbagai wilayah Indonesia. VOC telah mengambil banyak keuntungan dari pelaksanaan monopoli perdagangan terutama rempah-rempah.Gedung yang sekarang terletak di Jalan Taman Fatahillah mulai dibangun tahun 1620 atas perintah Gubernur Jan Pieter Zoen Coen. Gedung ini kemudian dikenal sebagai stadhius atau balai kota, merupakan salah satu bangunan Belanda di Batavia yang digunakan sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Gedung itulah yang dijadikan sentral untuk membangun kemaharajaan VOC, tempat awal membangun keabsolutan dan kesewenang-wenangan monopoli perdagangan serta intervensi politik VOC di Nusantara, bahkan di Asia pada umumnya. Hal ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC.

VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, yang merupakan perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdangan di Asia. Badan dagang Vereenigde Oostindesche Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda merupakan badan dagang yang istimewa, kerena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas tersendiri yang istimewa. VOC diperbolehkan memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Dengan kata lain VOC adalah negara dalam negara. Selain itu, VOC juga dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham. Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer kompeni atau kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie, nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Akan tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal kompeni daripada tentara Belanda yang sama-sama penindas dan pemeras rakyat. a. Terbentuknya VOC

Pada tanggal 20 Maret 1602, pedagang Belanda mendirikan VOC (Verenigde OostIndische Compagnie) atau Perkumpulan Dagang India Timur. Saat itu terjadi persaingan kuat antara negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Belanda. untuk memperebutkan kekuasaan perdagangan di Asia Timur. Mengenai masalah ini, VOC diberi kewenangan kepada Belanda dalam menghadapi masalah tersebut oleh Staaten Generaal di Belanda di mana wewenang atas biaya sendiri dan dapat membuat perjanjian kenegaraan serta menyatakan perang kepada suatu negara.

Wewenang tersebut membuat VOC dapat bertindak seperti suatu negara.VOC kemudian mendirikan markas di Batavia (Jakarta) di Pula Jawa dan pos kolonial di Maluku (kepulauan rempahrempah yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC memonopoli pala dan fuli yang dipertahankan dengan metode kekerasaan terhadap populasi lokal, pemerasan, dan pembunuhan massal. Pos perdagangan lebih tenteram terletak di Deshima, pulau buatan di lepas pantai Nagasaki tempat orang Eropa berdagang dengan Jepang.

Pada tahun 1603, VOC mendapatkan izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan di tahun 1610 Pieter Both diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama (1610 – 1614), tetapi ia memilih Jayakarta sebagai tempat administrasi VOC. Sedangkan, Frederik de Houtman sebagai Gubernur VOC di Ambon (1605–1611) dan setelah itu ia pun menjadi Gubernur di Maluku (1621 – 1623).

b. Perkembangan VOC



Gambar bendera VOC

Sumber: https://www.flickr.com

Tujuan mendirikan VOC adalah menghindari persaingan dagang antarpengusaha Belanda, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan bersaing dengan bangsa lain. Guna memonopoli perdagangan rempah-rempah, VOC melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda. Oleh karena itu, VOC juga mendapat hak eksterpasi, yakni hak untuk menebang tanaman rempah-rempah yang dianggap kelebihan jumlahnya dengan tujuan untuk menstabilkan harga. VOC juga mendapat hak memungut pajak, antara lain sebagai berikut.

1) Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban bagi raja pribumi untuk membayar pajak hasil bumi kepada Belanda.

2) Contingenten, yaitu pajak sewa tanah yang harus dibayar rakyat dengan hasil bumi.

Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam atau Charta) pada tanggal 20  Maret 1602, antara lain sebagai berikut.

1) Hak memonopoli perdagangan.

2) Hak membentuk angkatan perang sendiri.

3) Hak melakukan perorangan.

4) Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat 5) Hak untuk mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri.

6) Hak untuk mengangkat pegawai sendiri.

7) Hak untuk memerintah di negara jajahan.

Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempahrempah di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya pada tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek (politik mencari untung), selama memegang monopoli. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia. VOC mampu menguasai Indonesia sebagai berikut.

1) VOC adalah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat.

2) Banyak kerajaan di Indonesia yang mudah dikuasai VOC karena politik adu domba.

3) Para pedagang di Nusantara belum memiliki kesatuan dan persatuan yang kuat.

Beberapa bukti politik adu domba VOC yang berhasil menguasai kerajaan Nusantara, antara lain sebagai berikut.

1) VOC berhasil membantu Sultan Haji dalam merebut Banten dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa.

2) Dalam permusuhan antara Aru Palaka (Raja Bone) dan Hasanuddin (Sultan Makassar), VOC membantu Aru Palaka, sehingga terjadilah Perjanjian Bongaya yang menyebabkan Makassar jatuh ke tangan VOC.

3) VOC berhasil memecah-belah Mataram menjadi tiga kerajaan.

c. VOC menuju kebangkrutan



Gambar gedung VOC

Sumber: tospitaki.info

Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC karena hal-hal berikut.

1) Perang-perang dengan penguasa membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke negeri Belanda. Akibatnya, VOC tidak kuat lagi membiayai perangperang tersebut.

2) Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat. Guna lebih memperkaya diri, mereka melakukan tindak korupsi. Dengan demikian, merajalelalah korupsi di Indonesia maupun di negeri Belanda.

3) Terjadinya jual beli jabatan. Seorang VOC yang ingin pulang ke negerinya karena sudah terlampau kaya atau pensiun dapat menjual jabatannya kepada orang lain dengan harga tinggi. Hal ini akan menjadi sistem suap yang merajalela.

4) Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir. Pemerintah yang kekurangan biaya untuk membiayai pemerintahannya dan perang terpaksa menjual tanah-tanah yang luas kepada orang-orang partikelir dengan hak pertuanan.

5) Kekurangan biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.

6) Pada akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa lainnya (Inggris, Prancis dan Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara, sehingga monopoli VOC hancur.

Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga harta milik dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Guna menggantikan VOC Pemerintah Belanda membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907). Usaha VOC makin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah di wilayah Indonesia! Cobalah tuliskan penyebab VOC mampu menguasai Indonesia!

d. Dampak Positif dan Negatif Monopoli Perdagangan VOC di Indonesia

Kongsi Dagang Belanda atau lebih kita kenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) merupakan sebuah perusahaan Hindia Timur Belanda yang bergerak dalam bidang perdagangan di wilayah Asia. Dibentuk pada tanggal 20 Maret 1602, uniknya kongsi dagang ini memiliki pasukan tentara dan mempunyai hak-hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah Belanda.

Berdirinya VOC kemudian ditindaklanjuti dengan mendirikan beberapa markas, seperti di Batavia (Jakarta sekarang), Maluku, Kepulauan Banda, dan Banten. Dalam menjalankan tugasnya, perusahaan ini melakukan monopoli perdagangan dengan cara-cara licik dan kejam. Mulai dari melakukan pemerasan, pembunuhan massal, sampai-sampai melakukan tindakan kekerasan terhadap penduduk lokal. Adanya monopoli perdagangan di wilayah Nusantara oleh VOC tentu memiliki dampak yang cukup besar, lalu apa saja dampaknya? berikut penjelasan singkatnya.

1) Dampak Monopoli Perdagangan Oleh VOC

Dampak kegiatan monopoli perdagangan yang dilakukan VOC di Indonesia (nusantara saat itu) memang lebih condong ke sisi negatif (bisa dibilang kebanyakan dampak buruknya), namun disisi lain ada juga dampak positif yang dapat dipetik dan diambil pelajarannya.

2) Dampak Positif Monopoli Perdagangan

a) Banyak bangsa asing (eropa, asia, timur tengah) yang melakukan kegiatan perdagangan di Nusantara, akibatnya aktivitas dagang menjadi semakin ramai.

b) Pedagang pribumi memperoleh informasi hasil rempah-rempah yang laku dipasar internasional.

c) Selain itu, mereka juga lebih mengetahui tata cara perdagangan.

d) Pedagang pribumi melakukan hubungan dengan bangsa lain.

3) Dampak Negatif Monopoli Perdagangan

a) Rakyat harus menjual hasil rempah-rempah kepada pihak VOC

b) Pendapatan menurun karena harga ditentukan oleh VOC

c) Menurunnya jumlah penduduk, disebabkan karena pembantaian massal.

d) Penderitaan fisik (kelelahan) karena bekerja terlalu keras.

e) Produksi padi menurun, karena tanaman ini tidak laku di pasaran internasional. Sebab lainnya karena gagal panen.

f) Dampak lainnya menjadikan rakyat kelaparan dan kematian.

Pada perkembangan selanjutnya, VOC mengalami kemunduran, tepat pada tanggal 1 Januari 1800 kongsi dagang Belanda ini secara resmi dibubarkan. Beberapa sebab yang melatarbelakangi pembubaran VOC antara lain : kerugian akibat adanya pemberontakan dan peperangan, banyak pegawai VOC melakukan korupsi, pengeluaran gaji pegawai semakin meningkat, dan adanya persaingan dari bangsa lain seperti Perancis dan Inggris.

Pembubaran VOC kemudian meninggalkan banyaknya utang, jumlahnya sekitar 136,7 juta gulden. Tapi, kongsi dagang ini meninggalkan kekayaan cukup banyak, berupa bangunan seperti kantor dagang, kapal, benteng. Semua aset tersebut kemudian dialihkan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, penjajahan di Nusantara dilanjutkan oleh pemerintah Belanda.

2. Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa



Gambar kerja paksa

Sumber: sgoldberjangka.com

Kerja paksa adalah melakukan pekerjaan di bawah ancaman sanksi atau hukuman di mana pekerja tidak memiliki kebebasan untuk menyepakati pelaksanaan pekerjaan atau dengan kata lain pekerjaan yang tidak dilakukan dengan suka rela. Contoh sanksi hukuman dapat mencakup ancaman kekerasan, atau pembayaran upah ditunda.Penyitaan atau penahan dokumen pribadi pekerja seperti akta kelahiran, ijazah sekolah atau kartu tanda penduduk juga dapat dikategorikan ancaman kerja paksa karena pekerja mungkin tidak bebas untuk meninggalkan pekerjaan mereka atau untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah diatur tentang kebebasan individu untuk memilih pekerjaannya sehingga dengan adanya pengesahan Undang-Undang tersebut tidak ada yang boleh melanggarnya.Indonesia telah mengesahkan dua konvensi ILO mengenai larangan kerja paksa yaitu konvensi kerja paksa No. 29 tahun 1930 (K29), dan konvensi penghapusan kerja paksa No. 15 tahun 1957 (K150).Memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kehendak mereka dengan ancaman hukuman dapat menjadi tanda dari kerja paksa.Meskipun paksaan untuk bekerja dilakukan waktu saat kerja biasa atau kerja lembur.

a. latar belakang munculnya kerja paksa

Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya VOC (Kompeni) mengalami kemunduran dan kebangkrutan. Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya korupsi di antara pegawai-pegawainya, dan timbulnya persaingan dengan kongsi-kongsi dagang yang lain. Faktorfaktor itulah, akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799, secara resmi VOC dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi koloni Belanda di Indonesia. Perubahan politik yang terjadi di Belanda, merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis.

Dalam revolusi tersebut, kekuasaan raja Willem V runtuh, dan berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian Republik Bataaf juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis,sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Pada tanggal 1 Januari 1808 Louis Napoleon kemudian mengirim HermanWillem Daendels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan pulauJawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur  pemerintahan diIndonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1808 Daendels menerima kekuasaan dari Gubernur Jenderal Weise. Daendels dibebani tugas mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, karena Inggis telah menguasai daerah kekuasaan VOC di Sumatra, Ambon, dan Banda. Sebagai gubernur jenderal, langkah-langkah yang ditempuh Daendels, antara lain:

1)     Meningkatkan jumlah tentara dengan jalan mengambil dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

2)     Membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.

3)     Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon.

4)     Membangun jalan raya dari Anyer hingga Panarukan, sepanjang ± 1.100 km.

5)     Membangun benteng-benteng pertahanan.

Dalam rangka mewujudkan langkah-langkah tersebut Daendels menerapkan sistem kerja paksa (rodi). Selain menerapkan kerja paksa Daendels melakukan berbagai usaha untuk mengumpulkan dana dalam menghadapi Inggris. Langkah tersebut antara lain:

a)     Mengadakan penyerahan hasil bumi (contingenten).

b)     Memaksa rakyat-rakyat menjual hasil buminya kepada pemerintah Belanda dengan harga murah (verplichte leverantie).

c)     Melaksanakan (Preanger Stelsel), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Priangan untuk menanam kopi.

d)     Menjual tanah-tanah negara kepada pihak swasta asing seperti kepada Han Ti Ko seorang pengusaha Cina.

b. Pemerintahan Daendels (1808-1811)



Gambar tokoh Deandels

Sumber: www.hariansejarah.id

Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte berhasil menaklukkan Belanda. Napoleon mengubah bentuk negara Belanda dari kerajaan menjadi republik. Napoleon inginmemberantas penyelewengan dankorupsi serta mempertahankan PulauJawa dari Inggris. Ia mengangkat Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Batavia. Untuk menahan seranganInggris, Daendels melakukan tigahal, yaitu:

1) menambah jumlah prajurit,

2) membangun pabrik senjata, kapal-kapal baru, dan pos-pos pertahanan,

3) membangun jalan raya yang menghubungkan pos satu dengan pos lainnya.

Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah gubenur jendral Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808. Daendels kemudian mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah dalam bisang sosial ekonomi. Beberapa tindakan itu antara lain sebagai berikut.

a) Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak.

b) Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di ‘pasaran dunia.

c) Rakyat masih diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya.

d) Untuk menambah pemasukan dana, juga telah dilakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.

Daendels memerintah dengan keras dan kejam, sehingga menimbulkan reaksi dari rakyat. Salah satunya, perlawanan dari rakyat Sumedang dibawah pimpinan Pangeran Kornel atau Pangeran Surianegara Kusumaddinata (1791-1828), seorang bupati Sumedang. Perlawanan karena rakyat dipaksa bekerja dengan perlengkapan sederhana untuk membuat jalan melalui bukit yang penuh batu cadas. Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran.

Pada saat Daendels memerintah, ia bertindak keras terhadap raja-raja di Jawa. Tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister.

c. dampak kerja paksa

1) Dampak positif

a) Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.

b) Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor.

2) Dampak negatif

a) Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.

b) Beban pajak yang berat.

c) Pertanian khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.

d) Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon tahun 1843, sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Dema.

3. Pengaruh Sistem Sewa Tanah



Gambar Kondisi pada saat sewa tanah

Sumber:  https://www.berpendidikan.com

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816). Sistem sewa tanah yaitu system pertanian di mana para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops), Yang dapat di Ekspor keluar negeri.

a. Latar Belakang Diterapkanya Sewa Tanah

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan citacita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Prancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.

b. Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah

Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah IndiaInggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tujuan sewa tanah yaitu untuk meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan.

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode kolonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel) , yang berlaku antara tahun 1813 sampai  1830. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.

1) Aspek pelaksanaan sistem sewa tanah

Aspek-aspek yang terdapat dalam pelaksanaan sistem sewa tanah sebagai berikut.

a) Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern

Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa. Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat bangsa Eropa, timbul pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial yang amat besar.

b) Pelaksanaan pemungutan sewa

Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.

c) Pananaman tanaman dagangan untuk diekspor



Gambar kondisi hasil tanaman untuk diekspor

Sumber: www.markijar.com

Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.

Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagangan lainya, seperti gula dan lain-lain. Salah satu dari sebab kegagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual tanaman mereka di pasar bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala desa sering menipu para petani, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.

2) Hal yang ingin dicapai dalam sistem sewa tanah

Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah sebagai berikut.

a) Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.

b) Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan. Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya mendapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi. Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa di mana mereka hanya menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa tersebut.

3) Tanaman dan sistem perdagangan pada masa sewa tanah

Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

c. Akibat dan ketentuan dari sewa tanah

Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakakan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat memengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.

Asas-asas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakikatnya Rafless ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsure paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam kerja sama dengan rajaraja dan para bupati. (Kartodirdjo: 1977: 65)

Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan colonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas:

1) Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsure paksaaan apa pun juga.

2) Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri barat.

3) Berdasarkan anggapan bahwa pemerintah colonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (landrente) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.

Prinsip dasar dari sistem sewa tanah adalah setiap penggarap akan dikenai pajak sesuai jumlah dan kualitas tanah pemiliknya, karena semua tanah dianggap sebagai milik pemerintah. Perintah bulan Februari 1814 ini memberikan pedoman pemungutan pajak sebagai berikut.

1) Sawah, kelas, pajak:

a) Sawah, Kelas I,  1/2 dari hasil sebagai pajak.

b) Sawah, Kelas II,  2/5 dari hasil sebagai pajak.

c) Sawah, Kelas III,   1/3 dari hasil sebagai pajak.

2) Tegal, kelas, pajak:

a) Tegal, Kelas I,   2/5 dari hasil sebagai pajak.

b) Tegal, Kelas II,   1/3 dari hasil sebagai pajak.

c) Tegal, Kelas III,   ¼ dari hasil sebagai pajak.

Ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, Sistem Pajak Bumi tetap dipertahankan, walaupun perkenalan dan pelaksanaannnya selama tiga tahun kekuasaan Inggris masih jauh dari memuaskan. Sistem sewa tanah berlangsung hingga tahun 1830. Diperkenalkannya sistem sewa tanah memengaruhi perkembangan sosial ekonomi dalam beberapa hal.

1) Karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Parahyangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun.

2) Kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat.

3) Kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares (yang pertama di antara lain-lainnya yang sederajat) dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa.

4) Pemilikan tanah pribadi secara turun-temurun dalam banyak hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi-bagi, dan sering dengan jatah yang sama.

5) Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selanjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.

d. Kegagalan dari sistem sewa tanah

Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah di Indonesia mengalami kegagalan, karena:

1) sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,

2) sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah,

3) terbatasnya jumlah pegawai, dan

4) masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang.

Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukanpengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen.

4. Pengaruh Sistem Tanam Paksa



Gambar sistem tanam paksa tebu

Sumber: https://www.pelajaran.id

Tanam paksa VOC. Istilah tanam paksa berasal dari bahasa Belanda, yaitu "cultuur stelsel". Pencetusan ide dan pelaksanaan tanam paksa di Indonesia yaitu Johannes Van den Bosch, seorang gubernur jenderal Belanda pada tahun 1830 sampai 1833. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), merupakan peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku dipasar ekspor, khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil tanaman ini nantinya harus dijual kepada pemerintah belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Sedangkan Penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja selama 75 hari setiap tahun (20% dari 365 Hari) pada perkebunan milik pemerintah belanda, hal tersebut menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat. Penduduk dipaksa bekerja di perkebunan milik pemerintah kolonial, sistem tanam paksa, akibat tanam paksa, dampak tanam paksa, isi tanam paksa, kebijakan tanam paksa, Penduduk dipaksa bekerja di perkebunan milik pemerintah kolonial.

Namun pada kenyataannya peraturan Sistem Tanam Paksa  (Tanam Paksa) bisa dikatakan tidak sesuai karena pada prakteknya seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Kolonial. Tanah yang digunakan untuk praktik Tanam Paksa pun masih dikenakan pajak (seharusnya bebas pajak). Sedang Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bekerja selama setahun penuh (seharusnya hanya 75 hari) di lahan pertanian Belanda.

a. Sejarah dan Latar Belakang Tanam Paksa

Pada tahun 1830 saat pemerintah belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro (1825-1830), kemudian Gubernur Jenderal Judo mendapat izin untuk menjalankan CultuurStelsel (sistem Tanam Paksa) dengan tujuan utama untuk menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan dan mengisi kas pemerintahan jajahan yang saat itu kosong. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari kebrangkrutan, kemudian Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang. Untuk mnjalankan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch mmfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.

Awal adanya Sistem tanam paksa karena pemerintal kolonial beranggapan bahwa desa desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya diperhitungkan (membayar) senilai 40% dari hasil panen utama desa. kemudian Van den Bosch menginginkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk kemudian wajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya (minimal 20% atau seperlima luas) dan menyisihkan sebagian hari kerja (75 hari dalam setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan menjalankan tanam paksa, Pemerintah Kolonial beranggapan desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat kelebihannya. namun Jika kurang, desa harus membayar kekurangannya.

Oleh karena itu, Van den Bosch mengerahkan rakyat jajahannya untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di pasaran ekspor. Berikut Sistem yang disusun Van den Bosch Setibanya di Indonesia (1830).

1) Sistem tanam bebas harus dirubah menjadi tanam wajib dengan jenis tanaman yang telah ditentukan oleh pemerintah.

2) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya sedikit serta pelaksanaannya yang sulit.

3) Pajak terhadap tanah harus dibayar dengan menyerahkan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah kolonial.

Tanam paksa sendiri diterapkan secara perlahan muali tahun 1830 sampai 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa. Bagi pemerintah kolonial (Belanda), Sistem Tanam Paksa menuai sukses besar. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya dapat membangun sendiri, tapi punya hasil (laba) bersih 823 juta gulden untuk kas yang dikirim ke Kerajaan Belanda. Sistem tanam paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus pada tahun 1870 setelah memperoleh protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, meskipun pada kenyataannya Sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di luar Jawa masih berjalan hingga tahun 1915. Program tersebut (Sistem Tanam Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

b. Aturan dan ISi Tanam Paksa

Aturan dan ISi Tanam Paksa - Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada dasarnya adalah gabungan dari sistem pajak tanah (Raffles) dan sistem tanam wajib (VOC). berikut Isi Tanam Paksa.

1) Setiap rakyat Indonesia yang punya tanah diminta menyediakan tanah pertanian yang digunakan untuk cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang luasnya tidak lebi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis-jenis tanaman yang laku di pasar ekspor. 

2) Waktu untuk menanam Sistem Tanam Paksa tidak boleh lebih dari waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan

3) Tanah yang disediakan terhindar (bebas) dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.

4) Rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian bisa menggantinya dengan bekerja di perkebunan, pengangkutan atau di pabrik-pabrik milik pemerintah kolonial selama seperlima tahun atau 66 hari.

5) Hasil tanaman harus diberikan kepada pemerintah Koloni. Apabila harganya melebihi kewajiban pembayaran pajak maka kelebihannya harga akan dikembalikan kepada petani.

6) Penyerahan teknik pelaksanaan aturan Sistem Tanam Paksa kepada kepala desa

7) Kegagalan atau Kerusakan sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan dari petani seperti karena terserang hama atau bencana alam, akan di tanggung pemerintah Kolonial.

c. Dampak dan Akibat Sistem Tanam Paksa

Dampak dan Akibat Tanam Paksa - Pelaksanaan tanam paksa banyak menyimpang dari aturan sebenarnya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, Tanam Paksa menimbulkan akibat yang bertolak belakang bagi Bangsa Indonesia dan Belanda, diantaranya adalah sebagai berikut.

1) Bagi Indonesia

a) Beban rakyat menjadi sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi serta membayar pajak .

b) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.

c) Timbulnya wabah penyakit dan terjadi banyak kelaparan di mana-mana.

d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.

e) Rakyat Indonesia mengenal tanaman dengan kualitas ekspor.

f) Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam berbagai jenis tanaman baru.

2) Bagi Belanda

a) Kas Negeri Belanda yang semula kosong menjadi dapat terpenuhi.

b) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja (Surplus).

c) Hutang-hutang Belanda terlunasi.

d) Perdagangan berkembang pesat.

e) Amsterdam sukses dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.

d. Akhir Sistem Tanam Paksa

Tanam paksa yang berakibat banyak hal negative bagi bangsa Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun Indonesia, seperti berikut ini:

1). Eduard Douwes Dekker

Merupakan seorang pejabat Belanda yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen Lebak (Banten). Douwes Dekker cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang sengsara karena tanam paksa. Menggunakan nama samaran Multatuli yang memiliki arti 'aku telah banyak menderita', ia menulis buku berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menceritakan kesengsaraan rakyat indonesia akibat Sistem Tanam Paksa.

2). Baron Van Hoevel

Merupakan seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Bali, Madura dan Jawa, ia banyak melihat kesengsaraan rakyat akibat adanya Cultuurstelsel. Setelah pulang ke Belanda dan terpilih menjadi anggota parlemen Ia sering melakukan protes terhadap pelaksanaan tanam paksa, ia gigih dalam berjuang menuntut dihapusnya tanam paksa. Akibat adanya protes tersebut, pemerintah Belanda secara bertahap menghapuskan Tanam Paksa. Pada tahun 1865 Kayu Manis, Teh dan Nila dihapuskan, Pada tahun 1866 tembakau, kemudian tebu pada tahun 1884. Sedangkan Kopi merupakan Tanaman yang paling akhir dihapus, yaitu pada tahun 1917 karena Kopi paling banyak memberi keuntungan.

 

1 komentar: